Revisi UU ASN Dipertanyakan?

KABAR GURU - Baru tahun ini diterapkan, UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) segera direvisi. Dalam sebuah rapat Paripurna DPR belum lama ini, para wakil rakyat itu bersepakat dan menyetujui perbaikan sejumlah pasal dimana salah satu poin revisi yakni menyangkut tuntutan agar tenaga honorer diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Jika pada akhirnya poin pengangkatan tenaga honorer itu terwujud, maka akan ada sekitar 430 ribu PNS baru. Silang pendapat pun bermunculan terlebih ada anggapan revisi ini untuk kepentingan politis menjelang Pemilihan Presiden 2019 mendatang. Bau-bau aroma politis dibalik revisi itu sejatinya tidak seratus persen salah. Seperti yang disampaikan salah seorang pengamat politik di DIY, Dr Achmad Nurmandi.

Revisi UU ASN Dipertanyakan?

Pria yang juga dosen pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu mengakui kalau sebenarnya revisi UU tersebut tidak urgen atau mendesak. ”Kok, kalau saya melihat baru tiga tahun sudah direvisi. Publik kan malah jadi bertanya tanya,” tutur Achmad, kemarin.

Baca juga :

Dikatakan hasil Rapat Dengar Pendapat di DPR pada 2 Februari yang menunda revisi menunjukkan adanya tujuan politis daripada teknokratis. ”Tujuan politis dimaksud adalah kemauan memenuhi sekitar 430 ribu pegawai negeri baru berkaitan dengan Pemilu 2019 nanti,” ungkapnya.

Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Prof Dr Sofian Effendi meminta pemerintah tidak asal mengangkat pegawai. Ia tidak ingin kejadian seperti ketika masa pemerintahan Presiden SBY, banyak pegawai diangkat namun tidak sesuai dengan kompetensinya. Hal ini dinilai membenani negara. “Jangan asal mengangkat ASN. Tahun 2004 lalu ada peristiwa memprihatinkan ketika pemerintah mengangkat 1,1 juta pegawai honorer menjadi pegawai negeri. Kualitas dan kompetensinya belum jelas tetapi sudah buruburu diangkat. Ini lebih banyak faktor politisnya, kalau unsur politik masuk ke ASN, bisa rusaklah aparatur negara,” papar Sofian.

Berdasarkan data KASN, jumlah PNS di Indonesia per Juni 2015 sebesar 4.526.710 orang. Sepertiganya berkualitas rendah, tidak sesuai dengan kompetensi dan tak sesuai kebutuhan. Kini ada desakan lagi supaya pemerintah mengangkat pegawai honorer menjadi PNS. Ia mengingatkan supaya itu tidak dilakukan karena belum tentu sesuai dengan kebutuhan. Pengamat lainnya, Dr Achmad Choliq lebih menyoroti dalam hal menciptakan aparatur negara yang bersih dari KKN daripada menaikkan status tenaga honorer menjadi PNS. “Namun itu semua masih angan-angan, banyak yang bekerja dengan harapan memperoleh fee atau honor.

Bagi saya, sebaiknya hilangnya semua honor atau fee untuk aparat negara yang bekerja memang untuk melayani,” sambung Choliq yang juga dosen Magister Manajemen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Mantan pejabat di BUMN itu mengungkapkan banyak praktik tidak benar dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama terkait aparatur negara. Ia mengatakan sudah menjadi rahasia umum misalnya proyek tertentu yang sampai ke bawah banyak sekian persen, lainnya habis dipotong untuk pimpinan, untuk administrasi dan lainnya.

Karena itulah ia sepakat kalau jumlah aparat negara dikurangi, pasalnya banyak yang bekerja tidak sesuai bidangnya. Akibatnya terjadi inefektivitas dan inefisiensi, pengeluaran negara menjadi sia-sia.

Maksimalkan Kinerja

Pengamat Keuangan Negara dan Kebijakan Publik Universitas Sebelas Maret (UNS) Dr Mochtar Mahmud mengemukakan, ada hal yang lebih penting untuk dicermati oleh legislatif dalam revisi UU ASN ketimbang rencana pengangkatan 430 ribu pegawai honorer. Hal yang perlu dicermati yakni perlunya menyusun instrumen untuk memaksimalkan kinerja ASN yang dimasukkan dalam revisi UU tersebut.

Dengan adanya instrumen diharap bisa memaksimalkan kinerja ASN. Selain itu juga perlu dimasukkannya distribusi pegawai karena jika dicerati, salah satu persoalan dalam hal kepegawaian adalah tidak meratanya distribusi PNS. Ia mengemukakan, instrumen untuk meningkatkan kinerja bisa dimulai dari sistem penggajian atau kesejahteraan.

Selama ini, ASN menerima penghasilan bukan berdasar kinerjanya sehingga mereka ada yang bekerja tak maksimal. Jika berbasis kinerja, diakini hal itu akan berbeda. Selap 30 miliar dalam setahun. ”Dengan sistem honor yang sama rata, anggaran honorarium di UNS sebesar Rp 174 miliar, sementara dengan remunerasi berbasis kinerja hanya dikeluarkan Rp 139 miliar dalam setahun. Dengan instrumen semacam ini maka kinerja akan maksimal,” katanya.

Yang lebih penting lagi, karena persoalan utama PNS adalah tidak meratanya penempatan PNS, maka harus dibuat instrumen atau peraturan agar mereka ditempatkan di daerah yang jumlah PNS nya masih kurang yakni di luar Jawa atau di daerah terpencil. ”Dengan adanya instrumen peningkatan kinerja dan pndistribusian PNS, maka eksekutif selaku pelaksana UU akan lebih mudah dalam menata SDM ASN,” katanya.

Alasan pemerintah dan DPR merevisi UU ASN dinilai pakar kepegawaian Jurusan Administrasi Negara FISIP Unsoed Purwokerto, Wahyuningrat, kemungkinan didasari tiga alasan mendasar. Pertama, dari sisi formulasi belum begitu matang untuk klausul-klausul tertentu. Ini berdampak pada implementasi di bawah, seperti yang terjadi di sejumlah daerah, implementasi di tiap daerah bermacam-macam. ”Menurut UU ASN, seleksi terbuka memakai pansel hanya untuk jabatan pimpinan tinggi saja,” kata doktor bidang manajemen pengembangan sumber daya dan keuangan daerah ini, Sabtu (4/2).

Dia menilai, lahirnya PP No 18 Tahun 2016 tentang Organisasi Perangkat Daerah, juga baru muncul setelah dua tahun lebih UU tersebut berjalan. Karena belum ada PP tersebut, saat menyusun OPD, semua daerah sempat merujuk dulu ke UU yang masih bersifat umum. Sehingga implementasi berbeda-beda di daerah. Yang kedua, lanjut dia, banyak alternatif yang dulu diagendakan bisa masuk di UU tersebut, belum terakomodasi atau diterima. Ketiga, katanya, terkait monitoring dan evaluasi (move) yang kurang berjalan baik.

Ada Komisi ASN jangkauannya tidak sampaii ke daerah. Dia sepakat, jika ada revisi UU ASN, untuk pejabat pembina kepegawaian dikembalikan bukan lagi ke pejabat politik, seperti bupati/ walikota, gubernur. Ini penting, kata dia, supaya politisasi birokrasi dan ASN menjadi berkurang. Pengamat kebijakan publik Bonaventura Sulistyana melihat pemerintah dan DPR memiliki berbagai pertimbangan. Sementara itu, Ali Mansyur, Sekretaris Komisi A(Bidang Hukum dan Pemerintahan) DPRD Jateng menilai, upaya pemerintah untuk memperbaiki kesemrawutan kepegawaian perlu diapresiasi. Hal berbeda dikemukakan Muh Zen Adv, anggota Komisi E DPRD Jateng. Ia berpendapat, jika revisi hanya mengakomodir honorer diangkat menjadi PNS, patut dipertanyakan kepentingan politisnya. 

Sekian informasi diatas yang kami lansir darih suaramerdeka semoga bermanfaat untuk rekan Guru Honorer semua. Update perkembangan terbaru dari dunia Pendidikan Indonesia otomatis di timelne facebook anda dengan like fanpage facebook KABAR GURU. Silahkan kunjungi laman INI untuk kabar lainnya. Terima kasih.